Minggu, 25 Desember 2011

Sajak Budaya



Peradaban semakin lama semakin berkembang. Teknologi semakin canggih dan pemikiran manusiapun mulai berevolusi. Namun, semakin lama otak manusia semakin kotor, penuh dengan kelicikan, kecurangan dan kemunafikan yang semata-mata hanya untuk mengejar materi, popularitas dan tahta. Krisis Nasional Multi Dimensional terus menghimpit, menghantuiku.
            Aku hanyalah seorang ibu yang lemah. Telah lama aku ditinggal pergi oleh Rio suamiku. Tak pernah kubayangkan mereka tega memisahkanku dengan Rio. Mereka memenjarakan Rio di kotanya.
Cukup Rio korbannya. Kini takkan kubiarkan mereka merampas harta-hartaku. Akan kuperjuangkan hak-hakku. Karena aku dan keluargaku ini masih bisa menjadi sangat berharga.
Tetapi mengapa manusia-manusia yang menghargaiku semakin berkurang? Apakah karena adanya ancaman global? Aku terancam, semakin terancam. Namun kukan tetap berjuang agar nasibku tak seburuk suamiku. Anak-anakku terlantar akupun bisa terdampar meski aku tinggal bersama keluarga besarku, dikotaku yang bertetanggaan dengan Kota Pak Pendi. Inilah kotaku, kota Bu Daya.
Semakin lama, jantungku berdetak semakin kencang karena manusia yang melewatiku sangatlah banyak. Hari ini adalah hari yang sangat special untukku. Ibu mana sih yang nggak bangga anaknya berhasil direbut kembali setelah hampir diadopsi oleh negara lain?
Anakku yang bernama batik akhirnya kembali kepangkuanku. Aku sangat berterimakasih kepada manusia yang telah berjuang untukku. Untuk anakku. Beberapa hari setelah itu mereka menetapkan perayakan ulangtahun Batik, anakku. Aku semakin bangga kepadanya.
“Mama, tahu nggak? Kemarin waktu aku diculik, aku bertemu dengan Papa Rio suami Mama dari Ponorogo. Aku nggak tahu dia merasa senang atau sedih berada di sana. Selain itu, aku juga bertemu saudara-saudara kita Si Tari. Mereka terus menggerutu mengapa tidak ada yang menjemputnya pulang.“
“Sayang, Mama yakin sekali. Di sini mereka semua berusaha untuk memperebutkan hak-haknya. Namun dari awal manusianya yang salah karena tidak menghargai keberadaan kita. Padahal kita adalah aset berharga.“
“Kenapa kemarin tidak dipulangkan bersamaku? Sebenarnyakan bisa sekalian dibawa?“
“Belum genap usiamu untuk memahami semuanya. Kamu belum mengerti kenyataan akan hal ini anakku.”
Kesenangan itu semakin pudar karena aku masih terlarut dalam duka saudara-saudaraku yang entah bagaimana kutak tahu nasib mereka. Apalagi mendengar celotehan buah hatiku tersayang yang sempat bertemu mereka disana. Rasanya ngilu hati ini. Kuluapkan perasaanku melalui tulisan tangan bait-bait rintihan jiwaku.
Kunanti kado bingkisan
Kunanti perjuangan
Kunanti pengorbanan
Sebagai balasan perhatian

Namun,,,,,,,
Pernahkah kau angkat namaku?
Pernahkah kau perhatikan aku?
Pernahkah kau berkorban untukku?

Segala yang kau lakukan
Mengantarkan aku
Kedalam bangku penderitaan
Pembawa perih hatiku

Berjuanglah anakku
Berjuanglah sebagai balasan
Pertahankan julukanku
Sebagai imbalan masa depan

“Oh iya Ma, kemarin aku sempat menyaksikan perdebatan antara dua manusia. Mereka menyebut-nyebut nama Mama. Apakah Mama mengetahuinya?“
“Mama belum mengetahuinya nak. Bagaimana perdebatannya?“
“Begini Ma, yang mereka bilang :
x) Kenapa sih kita peduliin Bu Daya? Siapa dia? Sepertinya sekarang itu sudah nggak jaman deh. Jadul banget sih loe? Nggak ada pengaruhnya juga terhadap kesenangan kita.
y) Heh, jangan salah. Cuci tuh otakmu biar bisa berpikir dengan jernih. Bu Daya itu sudah banyak membantu kita. Dia bisa dijadikan aset untuk kemajuan bangsa ini. Makanya kita harus selektif dalam memilah pengaruh global yang masuk supaya Bu Daya kita nasibnya tidak terancam.
x) Halah,  shit kamu itu. Kalau punya mulut itu dijaga ya! Orang Negara Amerika yang Bu Dayanya seperti itu saja bisa maju kok. Mengapa kita meski bersusah payah memperbaiki moral kita? Mengapa kita mesti bersusah payah melakukan kebiasaan-kebiasaan kuno negara kita yang amat sangat dan teramat membosankan? Nggak terasa sensasinya.
y) Eh jangan salah, Negara Amerika yang manusianya suka free seks, minum-minuman keras dan berpesta pora tetap bisa maju karena itu merupakan bagian dari kebiasaan budaya mereka. Bisa dibilang mereka menjunjung tinggi itu semua. Sedangkan itu bukan bagian dari kebudayaan kita. Kita mempunyai kebiasaan dan kebudayaan sendiri yang harus dijunjung tinggi.Jika kita menjunjung tinggi kebudayaan kita sendiri, Insya Allah kita bisa lebih maju dari Negara-negara Barat.
“Hanya itu Ma yang kudengar. Setelah itu mereka jalan bersama pulang. Aku sempat heran, setelah bertengkar mereka kok saling tersenyum dan pulangnya bersama-sama.“
Aku tersenyum mendengar cerita anakku. Hatiku lebih tenang karena masih ada manusia yang mempedulikanku, menghargaiku dan mengakui keberadaanku. Meski sulit, kurelakan suamiku pergi namun takkan pernah kurelakan jika mereka mengambil anak-anakku dan saudara-saudaraku.
. Aku hanya bisa pasrah dan memohon kepada yang kuasa untuk menyadarkan manusia bahwa aku di sini hampir mati terlantar oleh jaman. Seperti pantun lama yang terikat sajak abab. Inilah sajak-sajak kehidupanku.
Hanya keyakinan yang menjadi bekalku. Meskipun segala sesuatu yang terwujud bukan yang kuinginkan, kuyakin bahwa segala sesuatu yang terwujud adalah yang terbaik meski tak kuinginkan.
Meski kegagalan selalu siap menghadang namun suatu saat kemenanganlah yang akan menerjang. Apa yang ada di belakang dan di depan kita hanyalah hal kecil dibanding dengan apa yang ada dalam diri kita.

-nTV-
(Perpustakaan & Arsip DIY 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar