Peradaban semakin lama semakin berkembang. Teknologi
semakin canggih dan pemikiran manusiapun mulai berevolusi. Namun, semakin lama
otak manusia semakin kotor, penuh dengan kelicikan, kecurangan dan kemunafikan
yang semata-mata hanya untuk mengejar materi, popularitas dan tahta. Krisis Nasional Multi Dimensional terus
menghimpit, menghantuiku.
Aku
hanyalah seorang ibu yang lemah. Telah lama aku ditinggal pergi oleh Rio
suamiku. Tak pernah kubayangkan mereka tega memisahkanku dengan Rio. Mereka
memenjarakan Rio di kotanya.
Cukup Rio korbannya. Kini takkan kubiarkan
mereka merampas harta-hartaku. Akan kuperjuangkan hak-hakku. Karena aku dan
keluargaku ini masih bisa menjadi sangat berharga.
Tetapi mengapa manusia-manusia yang menghargaiku
semakin berkurang? Apakah karena adanya ancaman global? Aku terancam, semakin terancam.
Namun kukan tetap berjuang agar nasibku tak seburuk suamiku. Anak-anakku
terlantar akupun bisa terdampar meski aku tinggal bersama keluarga besarku,
dikotaku yang bertetanggaan dengan Kota Pak Pendi. Inilah kotaku, kota Bu Daya.
Semakin
lama, jantungku berdetak semakin kencang karena manusia yang melewatiku
sangatlah banyak. Hari ini adalah hari yang sangat special untukku. Ibu mana sih yang nggak bangga
anaknya berhasil direbut kembali setelah hampir diadopsi oleh negara lain?
Anakku yang bernama batik akhirnya kembali
kepangkuanku. Aku sangat berterimakasih kepada manusia yang telah berjuang
untukku. Untuk anakku. Beberapa hari setelah itu mereka menetapkan perayakan
ulangtahun Batik, anakku. Aku semakin bangga kepadanya.
“Mama, tahu nggak? Kemarin waktu aku
diculik, aku bertemu dengan Papa Rio suami Mama dari Ponorogo. Aku nggak tahu
dia merasa senang atau sedih berada di sana. Selain itu, aku juga bertemu
saudara-saudara kita Si Tari. Mereka terus menggerutu mengapa tidak ada yang
menjemputnya pulang.“
“Sayang, Mama yakin sekali. Di sini mereka
semua berusaha untuk memperebutkan hak-haknya. Namun dari awal manusianya yang
salah karena tidak menghargai keberadaan kita. Padahal kita adalah aset
berharga.“
“Kenapa kemarin tidak dipulangkan
bersamaku? Sebenarnyakan bisa sekalian dibawa?“
“Belum
genap usiamu untuk memahami semuanya. Kamu belum mengerti kenyataan akan hal ini anakku.”
Kesenangan
itu semakin pudar karena aku masih terlarut dalam duka saudara-saudaraku yang
entah bagaimana kutak tahu nasib mereka. Apalagi mendengar celotehan buah hatiku tersayang yang sempat bertemu
mereka disana. Rasanya ngilu hati ini. Kuluapkan perasaanku melalui tulisan
tangan bait-bait rintihan jiwaku.
Kunanti
kado bingkisan
Kunanti
perjuangan
Kunanti
pengorbanan
Sebagai balasan perhatian
Namun,,,,,,,
Pernahkah
kau angkat namaku?
Pernahkah
kau perhatikan aku?
Pernahkah kau berkorban untukku?
Segala yang kau lakukan
Mengantarkan
aku
Kedalam
bangku penderitaan
Pembawa perih hatiku
Berjuanglah anakku
Berjuanglah
sebagai balasan
Pertahankan
julukanku
Sebagai
imbalan masa depan
“Oh iya Ma, kemarin aku sempat menyaksikan
perdebatan antara dua manusia. Mereka menyebut-nyebut nama Mama. Apakah Mama
mengetahuinya?“
“Mama belum mengetahuinya nak. Bagaimana
perdebatannya?“
“Begini Ma, yang mereka bilang :
x)
Kenapa sih kita peduliin Bu Daya? Siapa
dia? Sepertinya sekarang itu sudah nggak jaman deh. Jadul banget sih loe? Nggak ada pengaruhnya juga terhadap
kesenangan kita.
y) Heh, jangan salah. Cuci tuh otakmu biar
bisa berpikir dengan jernih. Bu Daya itu sudah banyak membantu kita. Dia bisa
dijadikan aset untuk kemajuan bangsa ini. Makanya kita harus selektif dalam
memilah pengaruh global yang masuk supaya Bu Daya kita nasibnya tidak terancam.
x) Halah,
shit kamu itu. Kalau punya
mulut itu dijaga ya! Orang Negara Amerika yang Bu Dayanya seperti itu saja bisa
maju kok. Mengapa kita meski bersusah payah memperbaiki moral kita? Mengapa
kita mesti bersusah payah melakukan kebiasaan-kebiasaan kuno negara kita yang
amat sangat dan teramat membosankan? Nggak terasa sensasinya.
y) Eh jangan salah, Negara Amerika yang
manusianya suka free seks,
minum-minuman keras dan berpesta pora tetap bisa maju karena itu merupakan
bagian dari kebiasaan budaya mereka. Bisa dibilang mereka menjunjung tinggi itu
semua. Sedangkan itu bukan bagian dari kebudayaan kita. Kita mempunyai
kebiasaan dan kebudayaan sendiri yang harus dijunjung tinggi.Jika kita
menjunjung tinggi kebudayaan kita sendiri, Insya Allah kita bisa lebih maju
dari Negara-negara Barat.
“Hanya itu Ma yang kudengar. Setelah itu
mereka jalan bersama pulang. Aku sempat heran, setelah bertengkar mereka kok
saling tersenyum dan pulangnya bersama-sama.“
Aku tersenyum mendengar cerita anakku.
Hatiku lebih tenang karena masih ada manusia yang mempedulikanku, menghargaiku
dan mengakui keberadaanku. Meski sulit, kurelakan suamiku pergi namun takkan
pernah kurelakan jika mereka mengambil anak-anakku dan saudara-saudaraku.
. Aku hanya bisa pasrah dan memohon kepada
yang kuasa untuk menyadarkan manusia bahwa aku di sini hampir mati terlantar
oleh jaman. Seperti pantun lama yang terikat sajak abab. Inilah sajak-sajak
kehidupanku.
Hanya keyakinan yang menjadi bekalku.
Meskipun segala sesuatu yang terwujud bukan yang kuinginkan, kuyakin bahwa
segala sesuatu yang terwujud adalah yang terbaik meski tak kuinginkan.
Meski kegagalan selalu siap menghadang
namun suatu saat kemenanganlah yang akan menerjang. Apa yang ada di belakang
dan di depan kita hanyalah hal kecil dibanding dengan apa yang ada dalam diri
kita.
-nTV-
(Perpustakaan & Arsip DIY 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar