Rabu, 28 Desember 2011

IMAGINER


Kebanyakan orang bilang kehidupan ini selalu berputar, kadang di atas kadang di bawah. Namun tidak denganku, kehidupanku terjungkal menuju sebuah jurang yang teramat dalam. Setiap hari, kuhanya bisa termenung dan terdiam pasrah mendengar alunan lagu yang dilantunkan orangtuaku.
Nadanya hanya itu-itu saja. Kalau disubtitusikan dengan dunia musik, lagu yang dibawakan orangtuaku sebanding dengan lagu-lagu death metal. Lagu yang bisa bikin pusing, memekakan telinga dan menaikan tekanan darah bagi orang-orang yang tidak biasa mendengarnya.
Tak pernah kubayangkan, sesuatu yang dulunya selalu indah, tenang dan damai semuanya hancur hanya karena sebuah permainan cinta. Slogan rumahku istanahku sekarang nggak berarti lagi bagiku. Harta ternyata bukanlah kunci pembawa kebahagiaan. Kasih sayanglah yang dapat menghantarkan kita menuju kebahagiaan.
Ah tak apalah rumahku jadi nerakaku, yang penting aku nggak masuk kedalam lubang neraka dunia yaitu drug. Pokonya say no to drug! Aku janji, meskipun keadaan rumah “semrawut“, tak akan kulampiaskan dalam suatu kemunafikan.
Bekerja sama dengan pamanku yang tak lain adalah seorang polisi, aku diberi kepercayaan untuk melakukan pekerjaan yang beresiko tinggi. Aku menyebutnya Ghost for Druger. Memang sedikit ngawur sih namanya. Jadi akulah adalah setan yang di takuti druger.
 Bagiku, resiko itu tantangan menyenangkan dan di situlah sensasinya. I had broken home so, tak ada yang perlu kupedulikan selain melihat kebahagiaan dan ketenangan orang-orang yang ada di sekitarku. Kapan generasi ini maju jika tidak dibiasakan berjuang menghadapi kehidupan yang keras sejak dini. Usia bukanlah hambatan untuk melakukan suatu hal besar yang berguna.
Pagi ini, cuacanya mampu melepaskan semua bayangan hitam kelam dalam hidupku.
“Eh anak mami sekarang sudah berubah ya, nggak biasanya kamu bawa mobil sendiri.“Cetus Sesil sahabatku dengan nada mencibir.
  “Karena aku akan menjalankan misiku. Sepulang sekolah aku mau buntutin kakakku lantas mengambil kesempatan dalam kesempitan. Alasannya tahu sendirikan kemarin Rere bilang apa?“Jawabku.
“Owh iya karena kakakmu menjadi korban penyalahgunaan narkoba itu ya?“Sahutnya.
 “Iya, belum lama ini. Radit yang memberitahuku. Awalnya aku sih cuek aja, mana mungkin kak Vina seperti itu. Dia-kan lagi sibuk ngerjain tugas kuliahnya. Eh beberapa saat kemudian aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, dengan santainya lagi ngepulin asap rokok di angkringan kali code.“Jawabku lirih.
Bel pulang telah berbunyi nyaring sekali. Tak sabar aku ingin menuju ke lokasi. Kukemudikan mobil dengan kecepatan penuh. Namun belum lama kumengemudi, mataku tertuju pada salah satu restauran. Akupun lekas memijak rem mendadak. Kulihat mama sedang have lunch. Dengan girang aku keluar dari mobil.
“Dalam hati aku berkata, wah asyik makan gratis lengkap sama ortu. Belum sempat sampai tujuan, kakiku enggan melangkah, langsung kupalingkan wajahku.
“Kukira dengan papa, ternyata.....?“
Akupun langsung tancap gas. Batinku menjerit, hatiku menangis. Kalau seperti ini, ingin kuikuti jejak kak Vina. Tapi itu juga percuma. Semakin menyakitkan karena sama saja dengan bunuh diri secara perlahan.
Di dalam kerapuhan hatiku, aku tetap bersikeras mengembalikan kakakku di dalam keluargaku. Aku yakin ada sepucuk kebahagiaan dalam hidup ini. Beberapa saat kemudian kulihat segerombolan anak muda. Wah, inilah saatnya...
Akupun mulai memainkan strategi A yaitu menjebaknya dengan menelpon terlebih dahulu lantas memberinya iming-iming uang selanjutnya menyekapnya sekuat tenaga dengan borgol yang kupinjam dari paman. Setelah itu, gantian paman yang bertindak. Tugasku berakhir dengan membawa kak Vina ke pusat Rehabilitasi.
Dag dig dug der....! Jantungku tak terkendali. Kak Vina mulai mendekati mobilku. Tanpa curiga dia masuk mobil dan akupun melancarkan aksiku memborgol tangannya saat dia membelakangiku.
 Dia berteriak, tak lama kemudian teman-temannya mendengar. Akupun bergegas menekan tombol otomatis penutup plat nomor mobilku biar nggak jadi incaran. Tanpa pikir panjang kutancap gas.
Mobil melaju dengan kecepatan penuh. Kakakku terus berteriak hingga membuat pikiranku semakin balau. Di tengah perjalanan, semua masalah membayang-bayangi hingga membuyarkan konsentrasiku. Bayangan mama, papa, teriakkan kak Vina. Akupun berteriak untuk meluapkan semuanya sambil menambah kecepatan mobil. Haaarrrgghttt.........!!!!!!
“Brakk..........
 “Sebenarnya apa sih yang kamu pikirkan? Kelihatannya diam dan memperhatikan kedepan namun ternyata pikiran ketempat lain? Tak usah banyak alasan kamu, nanti temui saya di ruang BK waktu istirahat. Sekarang, silahkan belajar diperpustakaan saja! Khusus hari ini tidak usah ikut pelajaran saya!“
Seorang guru Matematika memukul mejaku dan mengeluarkan semburannya. Aku hanya bisa memasang tampang bego. Dengan pasrah akupun keluar. Batinku terus menggerutu menyalahkan diriku sendiri.
Bodoh banget sih aku. Kenapa tadi tidak melawan? Kalau membantah sedikitkan masih bisa berada didalam kelas. Tidak seperti sekarang, kelontang-kelantung kesana-kemari sendirian seperti bocah ilang. Huh........!!
***
Angin yang bertiup kencang, tak sebanding dengan cuaca yang ada. Anginnya sejuk tapi kok udaranya panas. Huh..... membuat tubuh nggak stabil aja. Belum lagi keadaan rumah yang “gersang” (gerah merangsang). Gila, pikiranku semakin nggak terarah semenjak cuaca berganti. Mungkin juga karena sudah semakin terjajah dengan yang namanya teknologi.
Kebetulan ini malam adalah malam minggu. Malam yang menurut banyak orang adalah malam spesial. Kalau menurutku sih, malam ini biasa aja. Rumahku sepi seperti makam, ingin keluar malas. Akhirnya, kuputuskan untuk duduk di ruang tamu sendirian memandang pemandangan di luar rumah melalui jendela kaca yang tembus dari dalam.
 Terdengar berita di TV nasional yang kubiarkan menyala tentang era global yang dapat menjadi setan-malaikat generasi muda negara kita. Kuterdiam, terhanyut dan terenyuh pada suatu hal yang selalu kuimpikan. Hal yang selalu membawaku dalam imajinasi.
Hemm..... Negara ini, negara yang berkharisma, kaya akan kebudayaan, sumber daya alam dan terkenal akan keramahtamahan. Semua itu dapat dimanfaatkan dan dijadikan aset untuk memajukan negara ini. Sayangnya Sumber Daya Manusianya yang belum mampu menjangkaunya.
Apalagi sekarang ini, moral Negara ini semakin terancam dengan musuh dalam selimut yaitu teknologi. Gaya hidup hedonismepun semakin mewabah. Wah, pasti jadwalku padat sekali nih karena harus bekerja keras untuk mensosialisasikan tentang sikap antisipastif akan ancaman global khususnya untuk generasi muda kota Yogyakarta tentunya.
Fiuh......... Setiap pulang dari sekolah langsung berangkat ke Carpe Diem School. Sebuah lembaga pendidikan di Jogjakarta yang program belajarnya hampir menyerupai sekolah pada umumnya bimbingan belajar namun programnya lebih komplek. Di sini kita diberi keleluasaan untuk mengembangkan bakat sesuai keinginan kita. Ya.... bisa dibilang, Justice for Liberate Education. Untuk masuk sekolah ini, harus melalui proses yang rumit. Para siswanya kebanyakan anak-anak broken home yang tetap berprestasi.
Sejarah Carpe Diem School sangat simple ternyata. Intinya, kata Carpe Diem yang berasal dari bahasa Yunani dan bermakna raihlah kesempatan itu diambil karena keberhasilan Bapak Pendirinya yaitu Alm Prof Dr Joko Adore sepulang study banding dari kota Roma Italia. Menurut sejarahnya, sebelum pulang menuju Indonesia, orang-orang di sana selalu mencetuskan kata carpe diem berkali-kali. Itulah yang membuatnya terinspirasi untuk mendirikan Carpe Diem School.  
Di sekolah ini, aku terpilih menjadi ketua Organisasi Siswa sehingga harus aktif, cekatan, ulet dan terampil. Hari ini akan diadakan rapat OSIS dan aku yang akan memimpinnya. Namun, entah kenapa dari tadi perasaanku tidak tenang.
Mulailah aku beraksi mempresentasikan  program kerjaku tentang sosialisasi program cinta budaya berupa Parodi Budaya Pancaroba. Maksudnya adalah sebuah parodi budaya peralihan dari budaya tradisional menuju kebudayaan modern.
Hal tersebut menggambarkan tentang duplikasi jaman yang berbeda namun tetap bisa koheren. Intinya kita harus selalu selektif dalam menyaring pengaruh polusi budaya era global. Jadi, kita tetap harus berkreasi untuk menciptakn sesuatu yang baru yang dapat merubah citra kebudayaan kita menjadi lebih baik lagi tanpa melupakan dan meninggalkan kebudayaan tradisional.
 Parodi ini akan diisi dengan pembacaan puisi lama, puisi modern, tarian lama, tarian modern, musik lama, musik modern dengan berbagai aliran seperti punk, rock, metal dan pop. Selain itu, berbagai pameran-pameran benda-benda tradisional dan modern seperti gerabah, batik dan lukisan serta foto-foto karya kita sendiri terpajang.
Tak lupa fantasia IPTEK yang telah berkembang pesat di negeri ini menjadi hidangan special dalam acara ini. Pengenalan teknologi canggih dan ramah lingkungan misalnya mobil hybrid yang ramah lingkungan karena bisa menekan jumlah emisi gas karbon yang keluar. Serta perkembangan ilmu pengetahuan sehingga terciptalah ide baru yaitu pertambangan minyak bumi less CO2. Pertambangan ini, menjebak CO2 di dalam tanah.
Semua icon dipadukan jadi satu meski dalam panggung yang berbeda-beda sehingga jikalau ada orang yang dari rumah hanya berniat menyaksikan salah satu pertunjukan misalnya lawak, pasti secara tidak langsung menyaksikan ataupun hanya sekilas melihat pertunjukan lain sehingga penasaran dan tertarik.
Meski perkembangan global yang ditonjolkan, bukan berarti kita meninggalkan nilai tradisionalisme. Di sini kita harus menyeimbangkan antara keduanya. Parodi Budaya tersebut bertajuk perpaduan dua jaman yang sama-sama menggelorakan jiwa sehingga dapat menyadarkan pengunjung bahwa kita juga harus selalu menengok kebelakang untuk memetik pelajaran dan menjadikannya bekal di masa depan. Dengan begitu orang-orang pasti tertarik datang.
“Halah, acara seperti itu nggak ada kerennya sama sekali. Ngapain kita ngurusin kebudayaan? Lha wong Amerika yang budayanya seperti Free seks, minum-minuman beralkhohol saja bisa maju kok. Nggak pengaruh........ Ngapain kita harus bersusah payah untuk mengubah moral kita? Moral itu nggak menjanjikan perubahan negara, apalagi kebudayaan. Shit!“
“Lhoh siapa bilang? Itu semua berpengaruh besar. Amerika tetap bisa maju meski seperti itu kelakuannya karena bisa dibilang itu adalah kebiasaan dari kebudayaan mereka dan mereka menjunjung tinggi kebudayaannya. Sedangkan itu bukan merupakan kebiasaan dari kebudayaan negara kita. kita. Kita mempunyai kebiasaan dan kebudayaan sendiri yang harus dijunjung tinggi. Bila kita menjunjung tinggi kebudayaan kita sendiri, Insya Allah kita bisa lebih maju dari negara-negara Barat.“
Aku mengelakkan pendapat temanku. Aku mendapat senyuman hangat.
Great...!“cetus guru pembimbingku.
Seusai rapat aku langsung bergegas pulang karena perasaanku nggak karuan.
“Aneh, harusnya akukan merasa senang?“Batinku.
Kunaiki sepeda motorku dengan perlahan melewati tikungan tajam depan sekolahku. Tapi sial, mobil yang berada di depanku mendadak berhenti. Aku berteriak sambil tetap mengerem.Namun tetap saja tabrakan tak dapat terelakkan.
“Gubrak“
“TANIYA BUKA PINTUNYA.........!!!!“
Suara mama, menggema hingga membangunkanku. Tak terasa ternyata sepulang kutertidur sekolah hingga larut malam bahkan belum sempat berganti pakaian.
Yah, begitulah aku. Taniya Aryaz, seorang cewek yang suka musik cadas, pemimpi dan kebal dengan yang namanya dimarahin. Celotehan itu makanan sehari-hariku dirumah, sekolah bahkan di tempat umum.
Akulah cewek istimewa yang bisa menuntun jalanku dan mengambil sebuah pelajaran hidup melalui imajinasiku. Aku akan selalu berimajinasi untuk mewujudkan semua cita dan asa. Menjaga negeri ini agar selalu berjaya karena aku-lah seorang IMAGINER.










-nTV-
(in memorian 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar