Helai-helai daun
berguguran, hanya tinggal batang dan ranting-ranting yang berusaha untuk tetap
berdiri tegak meskipun lambat laun akan menjadi kurus kering. Yogyakarta, 12
Juli 1992. Senyap menaungi sebuah ruang tunggu yang penuh penantian namun
kebisingan menerkam tajam di ruang beradu nyawa. Delapan wanita paruh baya yang
mengenakan seragam putih-putih sibuk membantu mengeluarkanku dari rahim Mama. Teriakan perih terdengar menusuk gendang
telinga, memekakan rasa.
“Selamat
Pak, putra anda beserta ibunya selamat. Putra anda sehat dengan berat 3,5 kg.”kata
Dokter kepada Papaku.
Seorang
dokter keluar dari ruang peraduan nyawa masih dengan sarung tangan merahnya, membuang
senyuman yang menyiram kalbu. Segala kecemasan berubah drastis menjadi lautan
kegembiraan. Saat itulah pertama kalinya kuhirup udara segar RS Dr. Sardjito kota
Jogjakarta. Aku terlahir sempurna dengan wajah tampan.
Setelah
kudapat bernafas sempurna,aku pulang kerumah tentunya bersama orangtuaku. Di
rumah, segalanya telah disiapkan kakak yang menanti kepulanganku. Rupanya
kedatanganku sangat dinanti sehingga disambut dengan penuh kehangatan. Yah,
pada dasarnya yang namanya orangtua selalu ingin yang terbaik. Sesuai dengan
adat Jawa, diadakan syukuran dan pemberian nama dengan tradisi “Aqiqah“. RM Nino Virdamansyah nama keren yang diberikan orangtuaku. Panggil aja aku Nino
G Subastian, ye.... itukan Vino! jauh kali. Kok jadi narsis gini ya......?
Wah....
dirumah ada pesta, itu pestaku lho... Orang kaya! biasa dong begituan. Emang sih
aku nggak tahu, tapi Mama cerita lewat album kenangan dan aku tetep seneng kok!
Menurut adat Jawa, saat “Aqiqah“ rambutku dipangkas oleh Orangtuaku dan
banyak deh sampai gundul. Terus dipotret deh, nih fotonya! Bayangin aja aku
lucu seperti Boboho, tapi sekarang cakep mirip Her Junot, hehehe !
Mamaku
“protectif “ banget lho....! jadi, waktu aku masih kecil segala benda
yang kira-kira membahayakanku dijauhkan termasuk “pets animals“ yang
dapat mengganggu kesehatanku. Perkembanganku sangat diawasi dan pertumbuhanku
berjalan cepat hingga saat usiaku menginjak delapan bulan, mulutku telah
bercecap kata demi kata. Aku yakin saat itu mereka bangga padaku. Ih, ngapain
diceritain nggak penting banget ya?
Yogyakarta, 12 Juli 1994. Saat mentari
berganti bintang dan rembulan, sunyi menghantarkanku ke alam mimpi. Ketika Papa
sedang tugas di luar kota, tinggallah Aku, Mama, dan Kakakku. Entah suhu apa
yang membuat tubuhku mendadak panas, hingga aku kejang-kejang. Kesunyianpun terpecah
oleh teriakkan ”histeris“ mereka. Aku dilarikan ke Rumah Sakit dengan
mobil kecepatan penuh ala Valentino Rossi. Seorang Valentino Rossi dengan
kecepatan super hingga memenangkan ”MottoGP“,
kecepatanya nggak beda jauh kok sama kakakku yang menggunakan mobil. Namanya
juga orang panik, nggak peduli statusnya sebagai cewek. Wah... kembalilah aku
di ruang beradu nyawa.
Seorang dokter cantik keluar membawa
berita entah duka maupun suka akhirnya muncul juga. Tibalah saat yang ditunggu!
Dengan penuh harap bercampur cemas, takut dan bimbang, Mama menutup mata
mendengarkan berita dari Dokter Erna.
“Ibu sabar yah... menerima cobaan ini!
Yakinlah dan percayalah, janganlah pernah menyerah! Semua pasti ada jalan keluarnya. Kita harus
terus berusaha, tetapi Tuhan-lah yang memutuskan!“
Wajah
Mama berubah pucat pasi. Sungai airmata mengalir dan mengalir semakin deras,
menghapus perona merah pipinya.
“Kenapa Tuhan memberikan cobaan kepadamu
seberat ini, Nak? Sungguh malang nasibmu. Pasti Papa sedih begitu pulang nanti!
Mama nggak bisa membayangkan bagaimana masa depanmu kelak?“ (Tangisan Mama
bersama Kakak, mengisak duka nan lara). Dengan sekuat hati Mama mengambil
telepon genggam dari sakunya dan menghubungi nomor Papa.
” bengawan solo riwayatmu dulu Air mengalir sampai jauh.“(suara telepon Papa
berbunyi di atas meja, saat Papa akan mematikan komputer kerjanya)
” Hallo , Assalamu’alaikum. Kenapa Ma,
sudah kangen ya?“
” Pa, ini masalah serius. Nino masuk Rumah
Sakit.“ kata Mama.
” Ada apa Ma!“ Papa kaget.
Akhirnya Mama menceritakan semua hingga
tidak lagi dapat membendung air mata. Dengan ketegaranya, Papa hanya menahan
nafas dan tidak kuasa meneteskan air mata. Papa menyuruh Mama untuk bersabar
dan menunggunya hingga saat pulang nanti, karena Papa benar-benar tidak bisa
pulang sekarang, bukan karena tidak mementingkanku tapi karena keadaan disana.
Meski harapan tercecap kian meninggi,
manis bahkan sangat manis dalam doa. Kini jatuh tanpa lelah, terbang penuh
keikhlasan. Mungkin sudah jalan hidupku seperti ini, semua yang diharapkan
orangtuaku tidaklah nyata. Mungkin karena aku tidak patuh pada-Nya, atau karena
aku tidak taat pada-Nya, tapi yang pasti Orangtuaku tetap berusaha keras demi
kesembuhanku. Dengan doa dan usaha, mereka membawaku kemanapun untuk berobat.
Daya tahan tubuhku kian menurun, badanku
sering kali terasa panas bahkan seringkali tubuhku kejang-kejang. Lidahku
serasa membatu, sulit untuk bercecap. Tulang dikakiku sangat rawan dan lambat
laun telapak kakiku membengkok kebelakang. Sementara itu, menompang tubuhku sendiri tidaklah sanggup. Itu semua semakin diperparah dengan
keadaan otakku yang tak dapat fokus menanggapi pembicaraan orang lain. Saat
itulah aku difonis lumpuh dan kumiliki dunia fatamorgana. Aku hanya terbaring lemas
tak berdaya bersama penyakit yang kuderita.
“Nino
sayang, Papa pulang bawa oleh-oleh nak!“teriak papaku.
”Eh,
Papa sudah pulang.“ sahut mama.
“Kring...kring......kring.....“
“Bentar
ya Pa...?“
Yogyakarta,
13 Juli 1994. Belum sempat menyambut kedatangan Papa, ada saja telepon
mengganggu. Sudah ganggu, bawa berita hantu lagi. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin kata
itu cocok untuk keluargaku. Cobaan atas derita penyakitku belum selesai, kini
ditambah perusahaan Papaku yang bangkrut. Akhirnya ada jalan juga, meskipun
membuat jantung Papaku sedikit kambuh.
“Bagaimana
kita dapat uang Pa...?“ Isak tangis berderai keluar.
“Sabar
ya Ma... kita jalani saja, pasti ada jalan!“
Benar-benar
di luar dugaan, semua yang terjadi tidak diinginkan tapi itulah kenyataanya.
Bukan lagi kecewa yang dirasakan orangtuaku, namun perih yang mengiris meratapi
cobaan ini. Air mata tak kuasa mereka tahan. Hatikupun ikut menangis bersama
deritaku, derita semua. Semua awalkan pasti ada akhir, tapi kapan akhir itu
datang? Akhir yang menjemput sebuah tangis haru kebahagiaan. Akhir yang
memendam duka, menghapus lara dan membawa suka.
”If I die tomorrow, I will be allright because I
believe, there after we go, spirit caries on.“
Lagu
”Dream Theater“ terdengar dalam, dari kamar Kakakku. Hanya doa yang
selalu terpancar untukku. Aku merasa berdosa karena menambah beban orangtua. Kesibukan
Mamapun bertambah karena setiap minggunya, harus menjalani terapi dua kali di rumah
sakit tempatku dilahirkan. Berat dan lelah tidaklah dirasakannya, demi
kesembuhanku. Buah hasil terapi tidak terlalu banyak. Tapi karenanya aku dapat
berbicara meski gagap.
Lelah
”No Way“, kata Mamaku. Memang sih... tubuhku nggak terlalu berat. Maklum
masih bayi, tapi bolak-balik rumah sakitkan lumayan bisa bakar lemak, butuh
kalori dan energi lagi. Tubuhnya semakin mungil, walau kecil tapi tidak seperti
“upil“ lho..... Semangat yang terpancar tidak pernah padam, seperti lagunya ”spirit
caries on“, selalu semangat sampai
batas terakhir hidup tiba.
Sementara
itu Papaku terus bekerja keras menjadi seorang wiraswasta. Dia buka sebuah
warung makan lumayan besar. Memang modal awalnya pinjam dari Bank. Yah...
sambil menyelam minum air, tapi nggak mati tenggelam lho! Semuanya kita bangun
kembali, dari awal. ”All start is difficult but tomorrow must be better“,
itulah mottonya.
“Kalau
ke Roma aja ada seribu jalan, kenapa tidak dengan kehidupanku! ”Kukan tetap berjuang mencari jalan menuju
bintang yang terang,“ begitulah kata Papaku.
Yogyakarta,
12 Juli 1999. Hari ulang tahunku yang sungguh-sungguh membosankan. Aku tidak
senang dengan bulan dan tanggal ini. Menurutku, ini bulan sial karena di bulan
inilah aku mengidap penyakit itu. Gara-garanya,
selama tujuh tahun aku hanya tertidur di atas ranjang.
Hanya
mainan yang selalu dihadiahkan papa, teman setiaku. Ketekunan dan kesabaran
orangtuaku, membawa perubahan yang sangat besar. Kudapat sedikit demi sedikit
bergerak. Kukeluarkan seluruh tenagaku untuk bergerak dan bergerak, hingga
akhirnya kudapat duduk dan merangkak.
Uh.....
sial, masak selama tujuh tahun kemajuanku cuma duduk, merangkak dan bicara
gagap. Searusnya aku berprestasi, menuangkan kreatifitas dan imajinasiku. Pasti
aku disegani jika aku normal. Ya sudahlah, beginilah adanya.......
Memang,
tidak semua yang kita inginkan terwujud. Namun aku yakin bahwa segala sesuatu
yang terwujud itulah yang terbaik. Yah... meskipun nggak kita inginkan. Aku
yakin Tuhan memberi kita cobaan, pasti ada jalan keluarnya. Tubuhku kian
rentan, zat-zat antibiotik yang ada dalam tubuhku tak mampu mengalahkan
penyakit yang menyerangku. Tapi semangatku tak pernah mengibarkan bendera
putih. Keyakinankupun semakin tajam, aku ingin sembuh. Aku ingin bisa berdiri
tegak, menggapai mimpi biru yang selalu berderu.
Sesedikit
apapun uang yang orangtuaku dapat, tak mematahkan semangat untuk kesembuhanku.
Mereka rela tak makan untuk membeli obat rutin dan terapi perkembangan otakku.
Memang nggak murah, tapi terbukti aku bisa nuliskan. Berbeda dengan kakakku
yang tak terbiasa hidup susah. Dia sangat manja dan seenaknya sendiri. Hebat
...! Orangtuaku menghadapinya dengan kesabaran, mereka tetap tersenyum dalam
luka. Luka yang semakin dalam karenanya.
Meskipun Aku terlahir dalam dua dunia, aku tetap selalu bersyukur
pada Allah. Aku tetap beruntung, punya orangtua dan saudara serta banyak orang
yang sayang dan perhatian. Yah... nggak seperti yang lainnya yang ditelantarkan
orangtua sendiri karena kekurangan pada dirinya. Banyak sekali aku temui
teman-temanku yang berada tak jauh dari rumahku. Rumahkukan deket banget sama
panti asuhan. Mereka nggak pernah dapat kasih sayang yang utuh.
Yogyakarta,
21 Juli 2000. Ternyata hipotesisku salah. Nggak seharusnya kukatakan bulan ini
penuh kesialan. Kudiberi kesempatan untuk merasakan bangku sekolah. Banyak
jalan terjal berliku yang kutempuh, hingga akhirnya aku sekolah di tempat
khusus penyandang cacat. Sekolahku Internasional lho, jadi aku bisa
menggunakan Bahasa Internasional. Mungkin jika kamu jadi aku, akan minder berada di
sekolah ”elite“. Padahal aku sendiri ”elite“ lho.... Maklumlah aku “elite“
tapi dalam arti yang berbeda. Kalau aku sih elitnya ekonomi
sulit.“Hehehe.......“
Yogyakarta,
August 82000
Dear
Diary,
Oh
God, I needed a miracle. A miracle which brong me to be better. I always hope
and hope, when was my miracle come ? what was just my dream? a dream which
never came true. Aku tahu nggak semua mimpi itu nyata. Tapi aku ingin, bunga
mimpi yang telah kau mekarkan dalam tidur lelapku menjadi nyata. Mimpi yang
membawaku menapaki jalan dunia dan mengajakku berbicara. I belive that you hearded me. I waited your
miracle. I was promise that I’ll always pray for you. I’ll pray to my parents,
too. I want made them be happy.
*
Nino love Mama-Papa*
Hanya
untaian beberapa kata yang dapat kutulis dalam buku harian ini. Segitu aja
otakku harus bekerja sangat keras. Bahasa Inggris aja masih “semrawut“.
Yah... namanya juga belajar. Semua itu bisa kulakukan kalau aku sedang berada
dalam dunia nyata, bukan dunia fatamorganaku. What a fantastic ? suatu
hari ada seorang suster datang ke rumahku, menawarkan sebuah bantuan. ”Whow.....
this is a dream come true !“
Yogyakarta,
12 September 2000. Aku dapat biaya operasi gratis dari sebuah yayasan
rehabilitasi. Orangtuaku tinggal bayar obat dan uang jalan. Puji syukur Tuhan,
Kau beri wawasan luas orangtuaku hingga Kau beri jalan untukku, meringankan
beban banget deh. Aku tidak bisa ungkapkan semua ini lewat kata-kata. Rasanya
seneng banget, seperti memenangkan
undian rumah mewah beserta isinya. Aaaaaaaa......, rasanya pengen
teriak-teriak. Terimakasih Tuhan, kau datangkan keajaiban untukku.
Yogyakarta, 19 September 2000. Baru satu
minggu yang lalu dikasih tahu, sekarang sudah disuruh “cek up“ . Meski
harus bolos tapi O.K-lah, buat kesembuhanku apasih yang nggak? “first step“
pengobatan yaitu operasi tulang kakiku yang bengkok. Itu tepat satu minggu ke
depan. Wah... ”deg-degkan“ nih. Kira-kira kakiku bakalan gimana ya? Operasinya
berhasil tidak nih? Optimis aja deach ! pokoknya chayo.......!
Solo, 2 September 2000, wauw..... tidak perlu
ribet daftar, langsung masuk ruangan di RS Ortopedi Dr. Suharso di Solo.
Sekali-kali jadi orang elite dikit, masuk rumah sakit khusus tulang yang
biasanya digunain buat orang penting. Tapi mereka di kelas satu sedangkan aku
di kelas dua. Sebenernya sih di kelas tiga tapi ruang kelas tiga, sudah penuh.
Memang benar ya orang yang beruntung dapat mengalahkan orang pinter. Oh yah,
hari ini juga orangtuaku menandatangani berkas persetujuan operasi.
Mentari
tak tampak di dalam lorong yang masih sunyi pagi ini. Perutku berdendang, dari
kemarin belum diisi. Kuhanya bisa
membiarkannya berdendang, karena aku puasa untuk persiapan operasi. Dalam
sekejap hatiku terhentak karena aku berada dalam sebuah ruangan yang terdapat
mesin yang menyerupai mesin waktu. Ruangan ajaib yang dapat memperlihatkan
organ dalamku. Setelah organ dalamku tlah di potret, kuberbaring di keranjang
yang bergerak otomatis dan kepalaku seperti di lem. Rambutku lengket dan sulit
kubuka mata, aku lagi rekam otak .
Solo,
22 September 2000. Kumasuki ruang operasi. Selama dua belas jam berturut-turut
kumenjalani empat kali operasi. Lewat monitar di depan ruang tunggu yang banjir
akan air mata, mereka saksikan pembelahan kakiku. Pancaran doa terpantul mengalir
bersama tetesan darahku. Tulang rawan kakiku tlah dibelokkan kejalan sebenarnya.
Operasi selesai sudah, kini kakiku saatnya “digips“. Kain putih
melingkar rapi oleh tangan handalnya, menjadikan kakiku seperti mumi.
”Bapak-Ibu,
kita tunggu Nino sadar. Anda berdoa saja, semoga operasinya berhasil. Apabila
telah sadar, jangan di beri makan ataupun minum karena dapat berakibat fatal.
Tunggu sekitar empat jam, baru boleh diberi.“
Seorang
dokter menjelaskan pada orangtuaku dan mereka hanya mengangguk-angguk. Tapi
mereka bukan burung kutilang lho... Awas aja ngatain orangtuaku burung
kutilang.
”Krompyang......“
”Ma....Mama.....“
Kujatuhkan
gelas alumunium di dekat tempat tidurku saat ingin meraihnya, kutersadar.
Kepalaku sakit sekali, seluruh tubuhku panas. Tenggorokkanku seperti padang
pasir, kering kekurangan air. Namun, Mama menyuruhku menahan empat jam lagi.
Yah, dikuat-kuatin deh. Lagian aku juga nggak bakal mati kekeringan kok! Itukan
udah prosedur dokter.
Yogyakarta,
3 Oktober 2000. Kupulang kerumah setelah sebulan berada di Solo. Gemericik air
di kolam, bersama semilir angin menyejukkan kalbu. Tenang, damai bersama dengan
bahagia. Meski satu setengah bulan lagi kuharus kembali ke Solo, kuyakin bahwa
aku akan lebih baik dan harus lebih baik. ”Tomorrow must be better“,
itulah yang kumau. Mama tetap berjuang lagi, bolak-balik terapi dari Jogja ke yayasan, di Kaliurang.
Begitupun aku harus berjuang lagi, melepas platina yang tertancap di kakiku.
Wah........ kalau di jual pasti mahal, mata duitan nih....!
Yogyakarta,
19 September 2000. Tubuhku kembali terlentang di ruang peraduan nyawa.
Pelepasan delapan platina di kakiku, diperkirakan akan selesai selama lebih
dari delapan jam. Tim hijau telah siap. Tiga jam terlewati, lima jam terlewati,
tujuh jam terlewati, dan saat detik terakhir ke delapan jam tiba-tiba kuteriak.
”Aw..........
sakit!“
“Dokter,
sepertinya obat biusnya sudah habis, pasien tersadar. Bagaimana selanjutnya?
sahut suster.“
Belum
selesai tuntas, kutersadar. Kulihat tim hijau panik, namun mereka tetap tenang.
Kurasakan sakitnya saat kakiku baru di jahit. Profesional memang, menyelesaikan
masalah dengan pikiran tenang dan hasilnya OK-lah.
”Adik
sabar ya....! bentar lagi juga selesai. Tahan sakitnya, hanya sebentar tapi manfaatnyakan
untuk selamanya.“ Bujuk dokter.
Yogyakarta, 29 September 2000. Perang
telah usai dan akulah pemenangnya. Kubangga dengan keyakinanku namun,
perjuangan belum berakhir sampai sini. Setelah pembenahan kakiku berhasil,
kuharus tetap menjalani terapi selama setahun. Aku ingin dapat berjalan sebelum
tahun baru. Kuberharap sebelum tahun baru, luka bekas jahitan di kaki kering
dan sembuh. Aku harus bisa, pokoknya harus karena kuingin merayakan tahun baru.
Lambat
laun kudapat menompang badanku. Kudapat duduk tegak, berdiri dan sedikit
berbicara. Banyak teman-teman yang ingin bermain denganku, namun aku tidak bisa
terus bermain dengan mereka. Akukan punya dua dunia yang tak mereka miliki. Aku
punya dunia nyata dan dunia fatamorgana. Parahnya lagi, duniaku sering condong
dalam dunia fatamorgana yang tak mereka mengerti. Meski kudapat melihat,
bercecap gagap, mendengar dan berjalan, mereka tetap tak mengerti. Aku dalam
duniaku tanpa Papa dan Mama, berjalan sendiri semauku, berucap pun sendiri
tanpa kendaliku, dan berbuat sesuai kehendakku. Sering terlihat ku sendiri terlelap dalam
dunia yang tidak bertemu lagi kesadaran bahwa di sisiku ada Mama, Papa,
Keluargaku, dan orang-orang di sekelilingku.
Yogyakarta,
31 Desember 2000. Akhirnya kurayakan tahun baru dengan teman sekolah. Aku
tetaplah aku, seorang Nino yang mempunyai dua dunia. Hanya teman-teman
sekolahku yang dapat masuk dan bernaung dalam duniaku. Merekalah yang dapat
bercengkraman, berbicara dan bercanda tawa denganku. Yah........ mereka satu
operatorlah sama aku, jadi apa-apa nyambung. Jika kusedang bernaung dalam dunia
nyata, selalu kutulis buku harian sehingga kudapat mengenang dunia
nyataku.
Yogyakarta,
1 januari 2001
Dear
diary,
Terima
kasih Tuhan, karena kau dengarkan doaku. Kini kudapat berjalan dan bermain.
Meskipun kau berikanku suatu dunia fatamorgana, aku tetap bersyukur kepadamu.
Aku bersyukur karena kau juga berikanku kesempatan untuk bernaung dalam dunia
nyata meski hanya sekejap. Toh, aku tetap bisa bernafas dalam dunia
fatamorgana. Terkadang kuhampa karena tak ada yang mengerti duniaku. Kurasakan
kedamaian meski dalam fatamorgana, aku tidak pernah merana.
Yogyakarta,
24 Mei 2008. Aku tetap berdiri tegak di balik duniamu namun dengan duniaku
sendiri aku tidak mengenalnya. Dunia fatamorgana yang tak kau mengerti. Mengertilah,
aku tetap bernafas dalam dunia ini. Meski dalam jalanku, aku juga bernaung di
dalam dunia yang hanya bisa aku jejaki sendiri. Buku harian itulah yang menjadi
saksi nyata bahwa kudapat bernaung dalam dunia nyata. Namun, setiap helai
nafasku dalam fatamorgana. Fatamorgana kehidupan yang tampak tapi tidak dapat
kau masuki dan tidak pula kau ikuti liku jalannya.
Yogyakarta,
27 Mei 2008
Dear
Diary
Terima
kasih Tuhan, Kau berikanku kesempatan untuk dapat memijakkan kaki, melewati
aspal dan menggapai mimpi. Mungkin belum semua yang kumau terwujud. Namun semua
yang terwujud tlah cukup membahagiakanku. Terima kasih karena pada pagi ini,
kau berikanku kesempatan untuk bernaung dalam dunia nyata. Kuingat, bahwa pada
pagi ini kau jadikan bumiku menari-nari. Tarian yang mengajak semua penghuni
rumah beserta isinya ikut menari. Aku bersyukur karena tarian yang kau hadirkan
tak sampai mengeluarkan air liur. Air liur yang dapat menyapu kita semua.
*Nino
untuk semua*
Segala
sesuatu yang kuinginkan belum tercapai tapi yang tidak kuinginkan malah
tercapai. Kalau ingat kalimat itu, jawabanku tetap sama mungkin itulah yang
terbaik walau tidak kita inginkan. Semua hasrat, kemauan, keyakinan dan bunga
tidur yang selalu mekar telah kucapai. Memang benar ya kata William Shakespear,
hasrat dan kemauan itu tenaga paling besar yang melebihi uang serta kekuasaan. Penyakit
yang pernah bernaung dalam tubuhku, mati melawan keyakinan, kemauan, perjuangan
dan jalan Allah.
Yogyakarta,
29 Mei 2008
Dear
Diary
Hanya
sekejap kuberada dalam duniamu. Aku tetaplah aku yang bernafas dalam
fatamorgana, dunia nyata yang tidak dapat kau lihat dari segala sisi. Dunia
yang kau anggap maya yang tidak kau mengerti. Dunia maya yang tidak dapat kau
naungi. Dunia imajinasi yang tetap bersamaku memijakkan kaki di bumi hingga
terbang ke langit lepas kelak. Masa lalu
adalah kenangan, semua yang pernah aku, keluargaku dan kita semua lakukan serta
perjuangkan adalah suatu proses belajar. Proses belajar yang menyading
keberhasilan.
All
start is difficult, benar juga ya kata Papa! Semua awal memang sulit tapi jika kita jalani,
ada kok jalan keluarnya. Jadi tomorrow must be better than yesterday. Banyak
orang yang dekat dengan keberhasilan ketika ia menyerah, Thomas Alva Edison aja
banyak mengalami kegagalan sebelum keberhasilan tiba.
Diary, aku senang semua perjuangan, pengorbanan dan keyakinan
serta kesabaran yang kulakukan berbuah manis, meskipun jalan masa laluku pahit.
Tapi tidak selamanya pahit tetap menjadi pahit, manis menjadi manis dan asam
tetap menjadi asam. Wah kurang ditambah asin udah jadi nano-nano yah... Semua bisa berubah menjadi
sesuatu yang tidak kita duga. Pahit bisa jadi maniskan, seperti jamu yang kamu
minum. Pahit di lidah manis di badan.
Dunia
ini seperti roda yang berputar ? Terkadang di bawah kadang juga di atas atau di
samping. Segala sesuatu itu hanya ada dua pilihan yang saling berlawanan. Ada
kebaikan ada juga kejahatan, ada kaya ada juga miskin, berhasil-gagal,
optimis-pesimis. Ehm.. semuanya berpasangan saling melengkapi dan
menyempurnakan.
Apa yang ada di belakang dan di depan kita
hanyalah hal kecil dibanding dengan apa yang ada dalam diri kita. Be your self.
Mungkin ini diary terakhirku, akan kutapaki jalan ini apa adanya. Meski aku
penyandang autis, kukan tetap berjalan dengan apa yang kusandang bersama
nafasku dalam fatamorgana.......
RM Nino Virdamansyah
Happy New Years 2012
-nTV-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar