Sabtu, 31 Desember 2011

Nafasku dalam Fatamorgana


Helai-helai daun berguguran, hanya tinggal batang dan ranting-ranting yang berusaha untuk tetap berdiri tegak meskipun lambat laun akan menjadi kurus kering. Yogyakarta, 12 Juli 1992. Senyap menaungi sebuah ruang tunggu yang penuh penantian namun kebisingan menerkam tajam di ruang beradu nyawa. Delapan wanita paruh baya yang mengenakan seragam putih-putih sibuk membantu mengeluarkanku dari rahim Mama. Teriakan perih terdengar menusuk gendang telinga, memekakan rasa.
            “Selamat Pak, putra anda beserta ibunya selamat. Putra anda sehat dengan berat 3,5 kg.”kata Dokter kepada Papaku.
            Seorang dokter keluar dari ruang peraduan nyawa masih dengan sarung tangan merahnya, membuang senyuman yang menyiram kalbu. Segala kecemasan berubah drastis menjadi lautan kegembiraan. Saat itulah pertama kalinya kuhirup udara segar RS Dr. Sardjito kota Jogjakarta. Aku terlahir sempurna dengan wajah tampan.
            Setelah kudapat bernafas sempurna,aku pulang kerumah tentunya bersama orangtuaku. Di rumah, segalanya telah disiapkan kakak yang menanti kepulanganku. Rupanya kedatanganku sangat dinanti sehingga disambut dengan penuh kehangatan. Yah, pada dasarnya yang namanya orangtua selalu ingin yang terbaik. Sesuai dengan adat Jawa, diadakan syukuran dan pemberian nama dengan tradisi “Aqiqah“. RM Nino Virdamansyah nama keren yang diberikan orangtuaku. Panggil aja aku Nino G Subastian, ye.... itukan Vino! jauh kali. Kok jadi narsis gini ya......?
            Wah.... dirumah ada pesta, itu pestaku lho... Orang kaya! biasa dong begituan. Emang sih aku nggak tahu, tapi Mama cerita lewat album kenangan dan aku tetep seneng kok! Menurut adat Jawa, saat “Aqiqah“ rambutku dipangkas oleh Orangtuaku dan banyak deh sampai gundul. Terus dipotret deh, nih fotonya! Bayangin aja aku lucu seperti Boboho, tapi sekarang cakep mirip Her Junot, hehehe !
            Mamaku “protectif “ banget lho....! jadi, waktu aku masih kecil segala benda yang kira-kira membahayakanku dijauhkan termasuk “pets animals“ yang dapat mengganggu kesehatanku. Perkembanganku sangat diawasi dan pertumbuhanku berjalan cepat hingga saat usiaku menginjak delapan bulan, mulutku telah bercecap kata demi kata. Aku yakin saat itu mereka bangga padaku. Ih, ngapain diceritain nggak penting banget ya?
Yogyakarta, 12 Juli 1994. Saat mentari berganti bintang dan rembulan, sunyi menghantarkanku ke alam mimpi. Ketika Papa sedang tugas di luar kota, tinggallah Aku, Mama, dan Kakakku. Entah suhu apa yang membuat tubuhku mendadak panas, hingga aku kejang-kejang. Kesunyianpun terpecah oleh teriakkan ”histeris“ mereka. Aku dilarikan ke Rumah Sakit dengan mobil kecepatan penuh ala Valentino Rossi. Seorang Valentino Rossi dengan kecepatan super hingga  memenangkan ”MottoGP“, kecepatanya nggak beda jauh kok sama kakakku yang menggunakan mobil. Namanya juga orang panik, nggak peduli statusnya sebagai cewek. Wah... kembalilah aku di ruang beradu nyawa.
Seorang dokter cantik keluar membawa berita entah duka maupun suka akhirnya muncul juga. Tibalah saat yang ditunggu! Dengan penuh harap bercampur cemas, takut dan bimbang, Mama menutup mata mendengarkan berita dari Dokter Erna.
“Ibu sabar yah... menerima cobaan ini! Yakinlah dan percayalah, janganlah pernah menyerah!  Semua pasti ada jalan keluarnya. Kita harus terus berusaha, tetapi Tuhan-lah yang memutuskan!“
 Wajah Mama berubah pucat pasi. Sungai airmata mengalir dan mengalir semakin deras, menghapus perona merah pipinya.
“Kenapa Tuhan memberikan cobaan kepadamu seberat ini, Nak? Sungguh malang nasibmu. Pasti Papa sedih begitu pulang nanti! Mama nggak bisa membayangkan bagaimana masa depanmu kelak?“ (Tangisan Mama bersama Kakak, mengisak duka nan lara). Dengan sekuat hati Mama mengambil telepon genggam dari sakunya dan menghubungi nomor Papa.
” bengawan solo riwayatmu dulu  Air mengalir sampai jauh.“(suara telepon Papa berbunyi di atas meja, saat Papa akan mematikan komputer kerjanya)
” Hallo , Assalamu’alaikum. Kenapa Ma, sudah kangen ya?“
” Pa, ini masalah serius. Nino masuk Rumah Sakit.“ kata Mama.
” Ada apa Ma!“ Papa kaget.
Akhirnya Mama menceritakan semua hingga tidak lagi dapat membendung air mata. Dengan ketegaranya, Papa hanya menahan nafas dan tidak kuasa meneteskan air mata. Papa menyuruh Mama untuk bersabar dan menunggunya hingga saat pulang nanti, karena Papa benar-benar tidak bisa pulang sekarang, bukan karena tidak mementingkanku tapi karena keadaan disana.
Meski harapan tercecap kian meninggi, manis bahkan sangat manis dalam doa. Kini jatuh tanpa lelah, terbang penuh keikhlasan. Mungkin sudah jalan hidupku seperti ini, semua yang diharapkan orangtuaku tidaklah nyata. Mungkin karena aku tidak patuh pada-Nya, atau karena aku tidak taat pada-Nya, tapi yang pasti Orangtuaku tetap berusaha keras demi kesembuhanku. Dengan doa dan usaha, mereka membawaku kemanapun untuk berobat.
Daya tahan tubuhku kian menurun, badanku sering kali terasa panas bahkan seringkali tubuhku kejang-kejang. Lidahku serasa membatu, sulit untuk bercecap. Tulang dikakiku sangat rawan dan lambat laun telapak kakiku membengkok kebelakang. Sementara itu,  menompang tubuhku sendiri tidaklah  sanggup. Itu semua semakin diperparah dengan keadaan otakku yang tak dapat fokus menanggapi pembicaraan orang lain. Saat itulah aku difonis lumpuh dan kumiliki dunia fatamorgana. Aku hanya terbaring lemas tak berdaya bersama penyakit yang kuderita.
            “Nino sayang, Papa pulang bawa oleh-oleh nak!“teriak papaku.
            ”Eh, Papa sudah pulang.“ sahut mama.
            “Kring...kring......kring.....“
            “Bentar ya Pa...?“
            Yogyakarta, 13 Juli 1994. Belum sempat menyambut kedatangan Papa, ada saja telepon mengganggu. Sudah ganggu, bawa berita hantu lagi.  Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin kata itu cocok untuk keluargaku. Cobaan atas derita penyakitku belum selesai, kini ditambah perusahaan Papaku yang bangkrut. Akhirnya ada jalan juga, meskipun membuat jantung Papaku sedikit kambuh.
            “Bagaimana kita dapat uang Pa...?“ Isak tangis berderai keluar.
            “Sabar ya Ma... kita jalani saja, pasti ada jalan!“
            Benar-benar di luar dugaan, semua yang terjadi tidak diinginkan tapi itulah kenyataanya. Bukan lagi kecewa yang dirasakan orangtuaku, namun perih yang mengiris meratapi cobaan ini. Air mata tak kuasa mereka tahan. Hatikupun ikut menangis bersama deritaku, derita semua. Semua awalkan pasti ada akhir, tapi kapan akhir itu datang? Akhir yang menjemput sebuah tangis haru kebahagiaan. Akhir yang memendam duka, menghapus lara dan membawa suka.
            ”If  I die tomorrow, I will be allright because I believe, there after we go, spirit caries on.“
            Lagu ”Dream Theater“ terdengar dalam, dari kamar Kakakku. Hanya doa yang selalu terpancar untukku. Aku merasa berdosa karena menambah beban orangtua. Kesibukan Mamapun bertambah karena setiap minggunya, harus menjalani terapi dua kali di rumah sakit tempatku dilahirkan. Berat dan lelah tidaklah dirasakannya, demi kesembuhanku. Buah hasil terapi tidak terlalu banyak. Tapi karenanya aku dapat berbicara meski gagap.
            Lelah ”No Way“, kata Mamaku. Memang sih... tubuhku nggak terlalu berat. Maklum masih bayi, tapi bolak-balik rumah sakitkan lumayan bisa bakar lemak, butuh kalori dan energi lagi. Tubuhnya semakin mungil, walau kecil tapi tidak seperti “upil“ lho..... Semangat yang terpancar tidak pernah padam, seperti lagunya ”spirit caries on“, selalu  semangat sampai batas terakhir hidup tiba.
            Sementara itu Papaku terus bekerja keras menjadi seorang wiraswasta. Dia buka sebuah warung makan lumayan besar. Memang modal awalnya pinjam dari Bank. Yah... sambil menyelam minum air, tapi nggak mati tenggelam lho! Semuanya kita bangun kembali, dari awal. ”All start is difficult but tomorrow must be better“, itulah mottonya.
            “Kalau ke Roma aja ada seribu jalan, kenapa tidak dengan kehidupanku!    ”Kukan tetap berjuang mencari jalan menuju bintang yang terang,“ begitulah kata Papaku.
            Yogyakarta, 12 Juli 1999. Hari ulang tahunku yang sungguh-sungguh membosankan. Aku tidak senang dengan bulan dan tanggal ini. Menurutku, ini bulan sial karena di bulan inilah aku mengidap penyakit itu. Gara-garanya,  selama tujuh tahun aku hanya tertidur di atas ranjang.
            Hanya mainan yang selalu dihadiahkan papa, teman setiaku. Ketekunan dan kesabaran orangtuaku, membawa perubahan yang sangat besar. Kudapat sedikit demi sedikit bergerak. Kukeluarkan seluruh tenagaku untuk bergerak dan bergerak, hingga akhirnya kudapat duduk dan merangkak.
            Uh..... sial, masak selama tujuh tahun kemajuanku cuma duduk, merangkak dan bicara gagap. Searusnya aku berprestasi, menuangkan kreatifitas dan imajinasiku. Pasti aku disegani jika aku normal. Ya sudahlah, beginilah adanya.......
            Memang, tidak semua yang kita inginkan terwujud. Namun aku yakin bahwa segala sesuatu yang terwujud itulah yang terbaik. Yah... meskipun nggak kita inginkan. Aku yakin Tuhan memberi kita cobaan, pasti ada jalan keluarnya. Tubuhku kian rentan, zat-zat antibiotik yang ada dalam tubuhku tak mampu mengalahkan penyakit yang menyerangku. Tapi semangatku tak pernah mengibarkan bendera putih. Keyakinankupun semakin tajam, aku ingin sembuh. Aku ingin bisa berdiri tegak, menggapai mimpi biru yang selalu berderu.                                                                                   
        Sesedikit apapun uang yang orangtuaku dapat, tak mematahkan semangat untuk kesembuhanku. Mereka rela tak makan untuk membeli obat rutin dan terapi perkembangan otakku. Memang nggak murah, tapi terbukti aku bisa nuliskan. Berbeda dengan kakakku yang tak terbiasa hidup susah. Dia sangat manja dan seenaknya sendiri. Hebat ...! Orangtuaku menghadapinya dengan kesabaran, mereka tetap tersenyum dalam luka. Luka yang semakin dalam karenanya.
            Meskipun Aku terlahir dalam dua dunia, aku tetap selalu bersyukur pada Allah. Aku tetap beruntung, punya orangtua dan saudara serta banyak orang yang sayang dan perhatian. Yah... nggak seperti yang lainnya yang ditelantarkan orangtua sendiri karena kekurangan pada dirinya. Banyak sekali aku temui teman-temanku yang berada tak jauh dari rumahku. Rumahkukan deket banget sama panti asuhan. Mereka nggak pernah dapat kasih sayang yang utuh.
            Yogyakarta, 21 Juli 2000. Ternyata hipotesisku salah. Nggak seharusnya kukatakan bulan ini penuh kesialan. Kudiberi kesempatan untuk merasakan bangku sekolah. Banyak jalan terjal berliku yang kutempuh, hingga akhirnya aku sekolah di tempat khusus penyandang cacat. Sekolahku Internasional lho, jadi aku bisa menggunakan Bahasa Internasional. Mungkin jika kamu jadi aku, akan minder berada di sekolah ”elite“. Padahal aku sendiri ”elite“ lho.... Maklumlah aku “elite“ tapi dalam arti yang berbeda. Kalau aku sih elitnya ekonomi sulit.“Hehehe.......“
                                                                                   
                                                                                   
                                                                                    Yogyakarta, August  82000
            Dear Diary,
            Oh God, I needed a miracle. A miracle which brong me to be better. I always hope and hope, when was my miracle come ? what was just my dream? a dream which never came true. Aku tahu nggak semua mimpi itu nyata. Tapi aku ingin, bunga mimpi yang telah kau mekarkan dalam tidur lelapku menjadi nyata. Mimpi yang membawaku menapaki jalan dunia dan mengajakku berbicara.  I belive that you hearded me. I waited your miracle. I was promise that I’ll always pray for you. I’ll pray to my parents, too. I want made them be happy.
                                                                                    * Nino love Mama-Papa*     
           
            Hanya untaian beberapa kata yang dapat kutulis dalam buku harian ini. Segitu aja otakku harus bekerja sangat keras. Bahasa Inggris aja masih “semrawut“. Yah... namanya juga belajar. Semua itu bisa kulakukan kalau aku sedang berada dalam dunia nyata, bukan dunia fatamorganaku. What a fantastic ? suatu hari ada seorang suster datang ke rumahku, menawarkan sebuah bantuan. ”Whow..... this is a dream come true !“
            Yogyakarta, 12 September 2000. Aku dapat biaya operasi gratis dari sebuah yayasan rehabilitasi. Orangtuaku tinggal bayar obat dan uang jalan. Puji syukur Tuhan, Kau beri wawasan luas orangtuaku hingga Kau beri jalan untukku, meringankan beban banget deh. Aku tidak bisa ungkapkan semua ini lewat kata-kata. Rasanya seneng banget,  seperti memenangkan undian rumah mewah beserta isinya. Aaaaaaaa......, rasanya pengen teriak-teriak. Terimakasih Tuhan, kau datangkan keajaiban untukku.
              Yogyakarta, 19 September 2000. Baru satu minggu yang lalu dikasih tahu, sekarang sudah disuruh “cek up“ . Meski harus bolos tapi O.K-lah, buat kesembuhanku apasih yang nggak? “first step“ pengobatan yaitu operasi tulang kakiku yang bengkok. Itu tepat satu minggu ke depan. Wah... ”deg-degkan“ nih. Kira-kira kakiku bakalan gimana ya? Operasinya berhasil tidak nih? Optimis aja deach ! pokoknya chayo.......!
             Solo, 2 September 2000, wauw..... tidak perlu ribet daftar, langsung masuk ruangan di RS Ortopedi Dr. Suharso di Solo. Sekali-kali jadi orang elite dikit, masuk rumah sakit khusus tulang yang biasanya digunain buat orang penting. Tapi mereka di kelas satu sedangkan aku di kelas dua. Sebenernya sih di kelas tiga tapi ruang kelas tiga, sudah penuh. Memang benar ya orang yang beruntung dapat mengalahkan orang pinter. Oh yah, hari ini juga orangtuaku menandatangani berkas persetujuan operasi.
            Mentari tak tampak di dalam lorong yang masih sunyi pagi ini. Perutku berdendang, dari kemarin belum diisi.  Kuhanya bisa membiarkannya berdendang, karena aku puasa untuk persiapan operasi. Dalam sekejap hatiku terhentak karena aku berada dalam sebuah ruangan yang terdapat mesin yang menyerupai mesin waktu. Ruangan ajaib yang dapat memperlihatkan organ dalamku. Setelah organ dalamku tlah di potret, kuberbaring di keranjang yang bergerak otomatis dan kepalaku seperti di lem. Rambutku lengket dan sulit kubuka mata, aku lagi rekam otak .
            Solo, 22 September 2000. Kumasuki ruang operasi. Selama dua belas jam berturut-turut kumenjalani empat kali operasi. Lewat monitar di depan ruang tunggu yang banjir akan air mata, mereka saksikan pembelahan kakiku. Pancaran doa terpantul mengalir bersama tetesan darahku. Tulang rawan kakiku tlah dibelokkan kejalan sebenarnya. Operasi selesai sudah, kini kakiku saatnya “digips“. Kain putih melingkar rapi oleh tangan handalnya, menjadikan kakiku seperti mumi.
            ”Bapak-Ibu, kita tunggu Nino sadar. Anda berdoa saja, semoga operasinya berhasil. Apabila telah sadar, jangan di beri makan ataupun minum karena dapat berakibat fatal. Tunggu sekitar empat jam, baru boleh diberi.“
            Seorang dokter menjelaskan pada orangtuaku dan mereka hanya mengangguk-angguk. Tapi mereka bukan burung kutilang lho... Awas aja ngatain orangtuaku burung kutilang.
            ”Krompyang......“
            ”Ma....Mama.....“
            Kujatuhkan gelas alumunium di dekat tempat tidurku saat ingin meraihnya, kutersadar. Kepalaku sakit sekali, seluruh tubuhku panas. Tenggorokkanku seperti padang pasir, kering kekurangan air. Namun, Mama menyuruhku menahan empat jam lagi. Yah, dikuat-kuatin deh. Lagian aku juga nggak bakal mati kekeringan kok! Itukan udah prosedur dokter.        
            Yogyakarta, 3 Oktober 2000. Kupulang kerumah setelah sebulan berada di Solo. Gemericik air di kolam, bersama semilir angin menyejukkan kalbu. Tenang, damai bersama dengan bahagia. Meski satu setengah bulan lagi kuharus kembali ke Solo, kuyakin bahwa aku akan lebih baik dan harus lebih baik. ”Tomorrow must be better“, itulah yang kumau. Mama tetap berjuang lagi, bolak-balik terapi  dari Jogja ke yayasan, di Kaliurang. Begitupun aku harus berjuang lagi, melepas platina yang tertancap di kakiku. Wah........ kalau di jual pasti mahal, mata duitan nih....!
            Yogyakarta, 19 September 2000. Tubuhku kembali terlentang di ruang peraduan nyawa. Pelepasan delapan platina di kakiku, diperkirakan akan selesai selama lebih dari delapan jam. Tim hijau telah siap. Tiga jam terlewati, lima jam terlewati, tujuh jam terlewati, dan saat detik terakhir ke delapan jam tiba-tiba kuteriak.
            ”Aw.......... sakit!“
            “Dokter, sepertinya obat biusnya sudah habis, pasien tersadar. Bagaimana selanjutnya? sahut suster.“
            Belum selesai tuntas, kutersadar. Kulihat tim hijau panik, namun mereka tetap tenang. Kurasakan sakitnya saat kakiku baru di jahit. Profesional memang, menyelesaikan masalah dengan pikiran tenang dan hasilnya OK-lah.
            ”Adik sabar ya....! bentar lagi juga selesai. Tahan sakitnya, hanya sebentar tapi manfaatnyakan untuk selamanya.“ Bujuk dokter.
            Yogyakarta, 29 September 2000. Perang telah usai dan akulah pemenangnya. Kubangga dengan keyakinanku namun, perjuangan belum berakhir sampai sini. Setelah pembenahan kakiku berhasil, kuharus tetap menjalani terapi selama setahun. Aku ingin dapat berjalan sebelum tahun baru. Kuberharap sebelum tahun baru, luka bekas jahitan di kaki kering dan sembuh. Aku harus bisa, pokoknya harus karena kuingin merayakan tahun baru.
            Lambat laun kudapat menompang badanku. Kudapat duduk tegak, berdiri dan sedikit berbicara. Banyak teman-teman yang ingin bermain denganku, namun aku tidak bisa terus bermain dengan mereka. Akukan punya dua dunia yang tak mereka miliki. Aku punya dunia nyata dan dunia fatamorgana. Parahnya lagi, duniaku sering condong dalam dunia fatamorgana yang tak mereka mengerti. Meski kudapat melihat, bercecap gagap, mendengar dan berjalan, mereka tetap tak mengerti. Aku dalam duniaku tanpa Papa dan Mama, berjalan sendiri semauku, berucap pun sendiri tanpa kendaliku, dan berbuat sesuai kehendakku.  Sering terlihat ku sendiri terlelap dalam dunia yang tidak bertemu lagi kesadaran bahwa di sisiku ada Mama, Papa, Keluargaku, dan orang-orang di sekelilingku.  
            Yogyakarta, 31 Desember 2000. Akhirnya kurayakan tahun baru dengan teman sekolah. Aku tetaplah aku, seorang Nino yang mempunyai dua dunia. Hanya teman-teman sekolahku yang dapat masuk dan bernaung dalam duniaku. Merekalah yang dapat bercengkraman, berbicara dan bercanda tawa denganku. Yah........ mereka satu operatorlah sama aku, jadi apa-apa nyambung. Jika kusedang bernaung dalam dunia nyata, selalu kutulis buku harian sehingga kudapat mengenang dunia nyataku. 
                                                                                   
                                                                                    Yogyakarta, 1 januari 2001
            Dear diary,
            Terima kasih Tuhan, karena kau dengarkan doaku. Kini kudapat berjalan dan bermain. Meskipun kau berikanku suatu dunia fatamorgana, aku tetap bersyukur kepadamu. Aku bersyukur karena kau juga berikanku kesempatan untuk bernaung dalam dunia nyata meski hanya sekejap. Toh, aku tetap bisa bernafas dalam dunia fatamorgana. Terkadang kuhampa karena tak ada yang mengerti duniaku. Kurasakan kedamaian meski dalam fatamorgana, aku tidak pernah merana.
           
            Yogyakarta, 24 Mei 2008. Aku tetap berdiri tegak di balik duniamu namun dengan duniaku sendiri aku tidak mengenalnya. Dunia fatamorgana yang tak kau mengerti. Mengertilah, aku tetap bernafas dalam dunia ini. Meski dalam jalanku, aku juga bernaung di dalam dunia yang hanya bisa aku jejaki sendiri. Buku harian itulah yang menjadi saksi nyata bahwa kudapat bernaung dalam dunia nyata. Namun, setiap helai nafasku dalam fatamorgana. Fatamorgana kehidupan yang tampak tapi tidak dapat kau masuki dan tidak pula kau ikuti liku jalannya.
                                                                                   
                                                                                    Yogyakarta, 27 Mei 2008
            Dear Diary
            Terima kasih Tuhan, Kau berikanku kesempatan untuk dapat memijakkan kaki, melewati aspal dan menggapai mimpi. Mungkin belum semua yang kumau terwujud. Namun semua yang terwujud tlah cukup membahagiakanku. Terima kasih karena pada pagi ini, kau berikanku kesempatan untuk bernaung dalam dunia nyata. Kuingat, bahwa pada pagi ini kau jadikan bumiku menari-nari. Tarian yang mengajak semua penghuni rumah beserta isinya ikut menari. Aku bersyukur karena tarian yang kau hadirkan tak sampai mengeluarkan air liur. Air liur yang dapat menyapu kita semua.              
                                                                                                *Nino untuk semua*
           
            Segala sesuatu yang kuinginkan belum tercapai tapi yang tidak kuinginkan malah tercapai. Kalau ingat kalimat itu, jawabanku tetap sama mungkin itulah yang terbaik walau tidak kita inginkan. Semua hasrat, kemauan, keyakinan dan bunga tidur yang selalu mekar telah kucapai. Memang benar ya kata William Shakespear, hasrat dan kemauan itu tenaga paling besar yang melebihi uang serta kekuasaan. Penyakit yang pernah bernaung dalam tubuhku, mati melawan keyakinan, kemauan, perjuangan dan jalan Allah.
                                                                       
                                                                                   
                                                                                    Yogyakarta, 29 Mei 2008
           
            Dear Diary
            Hanya sekejap kuberada dalam duniamu. Aku tetaplah aku yang bernafas dalam fatamorgana, dunia nyata yang tidak dapat kau lihat dari segala sisi. Dunia yang kau anggap maya yang tidak kau mengerti. Dunia maya yang tidak dapat kau naungi. Dunia imajinasi yang tetap bersamaku memijakkan kaki di bumi hingga terbang ke langit lepas kelak.  Masa lalu adalah kenangan, semua yang pernah aku, keluargaku dan kita semua lakukan serta perjuangkan adalah suatu proses belajar. Proses belajar yang menyading keberhasilan.
            All start is difficult, benar juga ya kata Papa!  Semua awal memang sulit tapi jika kita jalani, ada kok jalan keluarnya. Jadi tomorrow must be better than yesterday. Banyak orang yang dekat dengan keberhasilan ketika ia menyerah, Thomas Alva Edison aja banyak mengalami kegagalan sebelum keberhasilan tiba.       
Diary, aku senang semua perjuangan, pengorbanan dan keyakinan serta kesabaran yang kulakukan berbuah manis, meskipun jalan masa laluku pahit. Tapi tidak selamanya pahit tetap menjadi pahit, manis menjadi manis dan asam tetap menjadi asam. Wah kurang ditambah asin udah jadi  nano-nano yah... Semua bisa berubah menjadi sesuatu yang tidak kita duga. Pahit bisa jadi maniskan, seperti jamu yang kamu minum. Pahit di lidah manis di badan.
            Dunia ini seperti roda yang berputar ? Terkadang di bawah kadang juga di atas atau di samping. Segala sesuatu itu hanya ada dua pilihan yang saling berlawanan. Ada kebaikan ada juga kejahatan, ada kaya ada juga miskin, berhasil-gagal, optimis-pesimis. Ehm.. semuanya berpasangan saling melengkapi dan menyempurnakan.
             Apa yang ada di belakang dan di depan kita hanyalah hal kecil dibanding dengan apa yang ada dalam diri kita. Be your self. Mungkin ini diary terakhirku, akan kutapaki jalan ini apa adanya. Meski aku penyandang autis, kukan tetap berjalan dengan apa yang kusandang bersama nafasku dalam fatamorgana.......
                                                                       
                                                                                   RM Nino Virdamansyah

 (langkah pena 2008; cerita tanpa konsep.mentah)
Happy New Years 2012
-nTV-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar