Selasa, 17 Januari 2012

BELAJAR UNTUK HIDUP


Belajar merupakan suatu proses pencarian ilmu dimana ilmu tersebut nantinya akan menjadi bekal untuk melakukan suatu pengembangan diri. Dari pengembangan diri itulah nantinya akan didapatkan suatu keahlian. Belajar itu tidak mengenal usia, latar belakang, tempat dan waktu. Dimanapun dan kapanpun kita adalah seorang pembelajar.
Hal tersebut menggambarkan jelas bahwa belajar tidak harus melalui pendidikan formal. Namun mayoritas masyarakat kita sering sekali berfikir sempit mengenai arti dan makna belajar yang sebenarnya. Kegiatan belajar lebih cenderung dimaknai sebagai perolehan ilmu dibangku formal.
Orang-orang yang tidak menganyam bangku formal biasanya langsung diberi label tidak berpendidikan dan tidak berilmu. Padahal tidak semua orang beruntung bisa menganyam bangku pendidikan. Apabila belajar itu diindentikan dengan bangku formal, maka bisa dikatakan bahwa Mayoritas Rakyat Indonesia tidak berilmu dan tidak berpendidikan karena telah kita ketahui bahwa pendapatan perkapitan di Negara Indonesia masih rendah dan angka kemiskinannyapun masih tinggi.
Perlu pemikiran yang luas untuk mengetahui makna belajar yang sebenarnya.Banyaknya ilmu pengetahuan yang didapat dari bangku formal belum tentu mampu memanusiakan manusia. Semakin tinggi pendidikan formal yang diraih biasanya lebih mempersempit cara pandang. Hal inilah yang membuat bangku pendidikan formal hanya menjadi pembatas kreatifitas.
Akibat terlalu banyaknya sumber-sumber teoritis ilmu pengetahuan yang telah didapat menjadikan makna sederhana dari hal sederhana tertutup begitu saja.  Terobosan teoritis yang diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi psikologis masyarakat mampu  menciptakan sistem-sistem dalam bermasyarakat sehingga terjadi pengkotakan lapisan masyarakat.
Masyarakat yang tidak mampu mengikuti sistem ataupun yang menolak sistem memilih memerdekakan diri dengan membentuk suatu komunitas yang dinilai sepaham contohnya komunitas anti kemapanan (punk) yang telah menjamur hampir di setiap penjuru dunia. Mereka membentuk kelompok berawal dari kawasan regional untuk saling berbagi pengalaman karena memang paham yang ada dalam komunitas mereka adalah hidup mandiri.
Tentunya kemandirian di sini dengan adanya upaya untuk menghasilkan uang. Seperti halnya komunitas anti kemapanan  di kawasan Jogja, mereka mampu hidup mandiri dengan bekerja sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Ada yang menjadi tukang semir sepatu, tukang tato di kawasan malioboro, pelukis keliling, dan berbagai kerajinan seni rupa lainnya. Bahkan ada juga yang menjadi tour guide.
Mereka tidak pernah bisa hidup dalam sistem dan pengekangan. Selama mereka dikekang, ditindas dan diperbudak oleh sistem, di situ juga mereka akan hidup dan tumbuh berkembang. Kesimpulan universal yang pertama adalah punk itu merupakan pemberontakan terhadap segala bentuk pengekangan dan pembatasan dari manusia untuk berkreasi dan beraktivitas. Bendera yang selalu berkibar tinggi dan sering sekali kita dengar yaitu merdeka atau mati.
Keahlian dan kemampuan sebagai modal usaha, mereka dapatkan dari teman-temannya. Bila ada yang bisa Bahasa Inggris, mereka belajar bersama-sama, saling berbagi, saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Itupun juga sukarela, jadi siapapun yang ingin belajar boleh bergabung dan yang tidak mampu boleh melakukan hal lain.
Segala kemampuan dan keahlian yang mereka miliki dipelajari secara otodidak tanpa menganyam pendidikan formal. Bagi mereka ide dan inspirasi itu selalu ada kapanpun dan dimanapun. Tinggal bagaimana kita mampu mengolah dan mengembangkan. Segala sesuatu itu berasal dari kebiasaan. Kita semua dilahirkan dalam keadaan sama-sama telanjang. Nantinya mau jadi apa kita, itu bergantung jalan yang kita pilih sendiri.
Minat belajarpun sebenarnya akan selalu muncul sejalan dengan tuntutan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Dalam konteks ini, hal yang perlu ditegaskan adalah belajar itu bukan berarti duduk dan mendengarkan penjelasan seperti mayoritas sistem yang ada dalam pendidikan formal kita. Belajar dalam arti sebenarnya adalah menuntut ilmu. Ilmu bisa kita dapatkan kapanpun dan dimanapun.
Gaya hidup yang carut marut pada anak-anak anti kemapanan tidak menjadi pembatas pengembangan kreativitas mereka. Gaya hidup carut-marut tersebut justru menjadi sebuah pembelajaran hidup dan motivasi untuk terus berkarya. Pengembangan kreativitas melalui pembelajaran otodidak terus dilakukan untuk membuktikan kemerdekaan mereka yang berdasarkan pada hidup mandiri. Mereka percaya bahwa kreativitas bukanlah bawaan dari lahir, kreativitas merupakan suatu hal yang harus diupayakan dengan pembelajaran dan kemauan yang tinggi sehingga kreativitas mampu menjadi bekal hidup MERDEKA.  


`nTV`

Tidak ada komentar:

Posting Komentar