Belajar merupakan suatu proses pencarian ilmu dimana
ilmu tersebut nantinya akan menjadi bekal untuk melakukan suatu pengembangan
diri. Dari pengembangan diri itulah nantinya akan didapatkan suatu keahlian.
Belajar itu tidak mengenal usia, latar belakang, tempat dan waktu. Dimanapun
dan kapanpun kita adalah seorang pembelajar.
Hal tersebut menggambarkan jelas bahwa belajar tidak
harus melalui pendidikan formal. Namun mayoritas masyarakat kita sering sekali
berfikir sempit mengenai arti dan makna belajar yang sebenarnya. Kegiatan
belajar lebih cenderung dimaknai sebagai perolehan ilmu dibangku formal.
Orang-orang yang tidak menganyam bangku formal
biasanya langsung diberi label tidak berpendidikan dan tidak berilmu. Padahal
tidak semua orang beruntung bisa menganyam bangku pendidikan. Apabila belajar
itu diindentikan dengan bangku formal, maka bisa dikatakan bahwa Mayoritas
Rakyat Indonesia tidak berilmu dan tidak berpendidikan karena telah kita
ketahui bahwa pendapatan perkapitan di Negara Indonesia masih rendah dan angka
kemiskinannyapun masih tinggi.
Perlu pemikiran yang luas untuk mengetahui makna
belajar yang sebenarnya.Banyaknya ilmu pengetahuan yang didapat dari bangku
formal belum tentu mampu memanusiakan manusia. Semakin tinggi pendidikan formal
yang diraih biasanya lebih mempersempit cara pandang. Hal inilah yang membuat
bangku pendidikan formal hanya menjadi pembatas kreatifitas.
Akibat terlalu banyaknya sumber-sumber teoritis ilmu
pengetahuan yang telah didapat menjadikan makna sederhana dari hal sederhana tertutup
begitu saja. Terobosan teoritis yang
diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat tanpa mempertimbangkan situasi dan
kondisi psikologis masyarakat mampu
menciptakan sistem-sistem dalam bermasyarakat sehingga terjadi
pengkotakan lapisan masyarakat.
Masyarakat yang tidak mampu mengikuti sistem ataupun
yang menolak sistem memilih memerdekakan diri dengan membentuk suatu komunitas
yang dinilai sepaham contohnya komunitas anti kemapanan (punk) yang telah
menjamur hampir di setiap penjuru dunia. Mereka membentuk kelompok berawal dari
kawasan regional untuk saling berbagi pengalaman karena memang paham yang ada
dalam komunitas mereka adalah hidup mandiri.
Tentunya kemandirian di sini dengan adanya upaya
untuk menghasilkan uang. Seperti halnya komunitas anti kemapanan di kawasan Jogja, mereka
mampu hidup mandiri dengan bekerja sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Ada yang menjadi tukang semir sepatu, tukang tato di kawasan malioboro, pelukis
keliling, dan berbagai kerajinan seni rupa lainnya. Bahkan ada juga yang
menjadi tour guide.
Mereka tidak pernah bisa hidup dalam sistem dan pengekangan. Selama mereka dikekang,
ditindas dan diperbudak oleh sistem, di situ juga mereka akan hidup dan tumbuh berkembang. Kesimpulan universal yang pertama adalah punk itu merupakan pemberontakan terhadap segala bentuk pengekangan dan
pembatasan dari manusia untuk berkreasi dan beraktivitas. Bendera yang selalu berkibar tinggi
dan sering sekali kita dengar yaitu merdeka atau mati.
Keahlian dan kemampuan sebagai modal usaha, mereka dapatkan dari teman-temannya. Bila ada yang bisa Bahasa Inggris, mereka belajar bersama-sama, saling berbagi, saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Itupun juga sukarela, jadi siapapun yang ingin belajar boleh bergabung dan yang tidak mampu boleh melakukan hal lain.
Segala kemampuan dan keahlian yang mereka miliki
dipelajari secara otodidak tanpa menganyam pendidikan formal. Bagi mereka ide
dan inspirasi itu selalu ada kapanpun dan dimanapun. Tinggal bagaimana kita
mampu mengolah dan mengembangkan. Segala sesuatu itu berasal dari kebiasaan.
Kita semua dilahirkan dalam keadaan sama-sama telanjang. Nantinya mau jadi apa
kita, itu bergantung jalan yang kita pilih sendiri.
Minat belajarpun sebenarnya akan selalu muncul
sejalan dengan tuntutan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Dalam konteks
ini, hal yang perlu ditegaskan adalah belajar itu bukan berarti duduk dan
mendengarkan penjelasan seperti mayoritas sistem yang ada dalam pendidikan
formal kita. Belajar dalam arti sebenarnya adalah menuntut ilmu. Ilmu bisa kita
dapatkan kapanpun dan dimanapun.
Gaya hidup yang carut marut pada anak-anak anti
kemapanan tidak menjadi pembatas pengembangan kreativitas mereka. Gaya hidup
carut-marut tersebut justru menjadi sebuah pembelajaran hidup dan motivasi
untuk terus berkarya. Pengembangan kreativitas melalui pembelajaran otodidak
terus dilakukan untuk membuktikan kemerdekaan mereka yang berdasarkan pada
hidup mandiri. Mereka percaya bahwa kreativitas bukanlah bawaan dari lahir,
kreativitas merupakan suatu hal yang harus diupayakan dengan pembelajaran dan
kemauan yang tinggi sehingga kreativitas mampu menjadi bekal hidup MERDEKA.
`nTV`
Tidak ada komentar:
Posting Komentar